Saturday, July 11, 2009

puisi

JERITAN FAKIR

Ini bukan jeritan pedih saat mati
sewaktu akan terpisah roh dan jasad
menuju ke liang lahad menanti akhirat
diiringi tangis dan sesal anak isteri

ini adalah jeritan para fakir
tak tahu - bila akan berakhir
sedangkan hidup ini terlalu singkat
mengajar kami tak henti mencari nikmat

kami menanti matahari dengan seribu tanda tanya
adakah berkesempatan melihat bulan bercahaya
ditemani anak-anak kami yang tak pernah bertanya
derita di siang hari di mata para pengitip dosa

kota ini tak pernah menjanjikan syurga mahu pun bahagia
ketika perjalanan ini diiringi burung-burung pagi
cuma kami sering terdengar herdik maki
dari mulut para algojo yang tak punya cinta rasa dan airmata

tuan besar yang tak pernah rasa kecewa dan berdosa
lihatlah derita kami para fakir yang akrab dengan matahari
deru dan debu pengiring kami mengelilingi
kota ini
memburu masa tanpa kami mengingati tentang usia

sesekali hujan pagi mengekang semangat murni
untuk kami meneruskan segala-galanya
kerana mengenangkan nasib anak isteri
kami paksakan diri teruskan juga untuk mereka

Kuala Lumpur
tiada lagi air mata kami untuk menadah nasib
selagi mercumu membuatkan mereka menghina kami
selagi sungai kelang dianggap sebagai tong sampah
selagi itulah nasib kami tak berubah.


MarjanS
Seri Labuan
2004




ALGOJO DARI POJOK DINGIN

Di tangan ini ada kerdip kilau belati bersalut makna
di tangan itu ada runcing mata pena bertatah permata
di dalam dada ini ada hukuman mati tanpa tanda Tanya
di dalam dada itu ada amarah maki yang membabi buta
tak pernah melafaz simpati pada cinta si Qais dan Laila
rela menguja demi mempertahankan seribu ikrar setia

Apa gunanya menafikan bahasa yang songsang maknanya
titipan marsum dari para makhdum ghani untuk kawulanya
cerita tentang daerah tiada dalam peta di tanahair merdeka
sedangkan mereka terlupa – mereka berpijak di bumi mana
dari ambang rahim bangsa siapa mereka kenal tentang dunia
atau tangan itu sengaja gatal mencacatkan lembutnya bahasa

katakan ini pesan kasih Algojo dari pojok dingin – buat semua
bukan salah tangan ini kiranya cinta dan janji tak berbalas setia
kerana kasihkan bahasa bonda agar tidak dianggap terlalu hina
mengajak melayu yang sesat kembali keperdu rumpun bangsa
lalu katakanlah pada dunia melayu kami ada sungai darahnya
rohani melayu kami ada dimana-mana walau jasad telah tiada

bangsa kami yang serumpunnya itu tetap berwarna hijau segar
bangsa kami yang kelopak kuntumnya tetap berkembang mekar
walau pun merdeka yang dahulu semakin jauh kami tinggalkan
namun generasi kami masih terus menuntut kemodenan merdeka
cuma sedikit perbezaannya hanyalah penjajahan jasad dan minda
rela menjaja bahasa yang kehilangan daulat maruah bangsa tercinta

hari ini marilah kita berhijrah mencari jalan menuju kedalam diri
bertanya pada atma rohani dengan cinta apa itu yang bernama merdeka
tentang seorang anak muda merdeka yang tak punya erti cinta bahasa
sehingga terlupa nama jalan desa rindu abadi menuju kerumah sendiri
tentang sighani yang mengukir nama tersasar jauh dilingkaran kota kaca
terasa murahnya harga maruah kalau mengaku dirinya orang berbangsa

MarjanS
D.L.O POS
MALAYSIA
DAYA BUMI Oktober 2006




DI DANGAU KEMISKINAN

Kami khalayak yang papa dengan kebendaan
hidup kami acap kali diselubungi pertanyaan
di dangau kemiskinan yang berneonkan rembulan
entah sampai bila kami harus tidak mengapa

percakapan keridik adalah nyanyian sukma
dikala hati hiba disimpul duka nestapa
teringatkan perut anak isteri yang kurang berisi
mengenangkan mimpi yang kurang menjadi

dangau kemiskinan menjadi sandaran perjuangan kami
permana untuk kami memikirkan pertanyaan yang tak terjawab
antara kami- tuan besar yang pandir minda- hilang timbang rasa
memijak kami bagai meratakan tanah merah di pusara bonda

hari ini- tiada lagi kami dengar keluh simpati setulus hati
dari tuan besar pandir mindan dengan murni bahasa bonda
menghayati senandung syair kami yang terluka bahasa
terpercik nyaring suara membolos atap rumah kami yang bilazim

kami warga kecil yang berteduh di dangau kemiskinan
malam kami- sering kami kongsi menjamah pahit hidup
menatap masa depan kami yang dicalit dengan warna redup
dan sering kami meratib pertanyaan bilakah ianya akan berakhir

anak- engkau kami besarkan dengan kesederhanaan
kami bangkitkan semangatmu di dangau kemiskinan ini
semoga satu hari nanti kau takan menangis mendengar penghinaan
kiranya takdir Tuhan meletakkan engkau memihak kepada kami

anak- kemiskinan ini tak bermakna engkau papa segalanya
kekayaan kau lihat itu tak bermakna mereka mulia segalanya
kerana bulan- matahari dan bumi fana ini satu untuk kita semua
kerana Tuhan maha adil dan saksama untuk seluruh makhluknya.





MarjanS
POS
MALAYSIA

No comments: